Langsung ke konten utama

Tak Lekang Oleh Waktu


Cinta yang paling suci di dunia adalah cinta orang tua kepada buah hatinya. Cinta yang paling tulus di dunia adalah cinta orang tua kepada buah hatinya. Cinta yang selalu ada adalah cinta orang tua kepada buah hatinya. Cinta, kata pertama yang diajarkan kepada kita lewat kedua orang tua kita. Darinya kita bisa mengetahui apa sebenarnya cinta, tanpa harus les atau kursus tentang cinta. Kita sudah tahu itu.

Orang tua telah mencintai kita tanpa mengetahui bagaimana bentuk rupa kita. Mereka mecintai kita sebelum kita ada! Rela melakukan apapun untuk membuat buah hatinya bahagia. Perjuangan mereka tetap abadi dan tak bisa terhapuskan oleh apapun. Sekalipun sang buah hati sering menyayat hati kecilnya, namun cinta itu tetap ada. Sekalipun terucap kata “A B C D” dari sang buah hati, namun selalu sabar menghadapi kita–buah hatinya yang terkadang lupa diri.

Hari ini, 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu! Sudah berapa sering mengucapkan, “Selamat Hari Ibu, mak.” –Terlampau sering. Mungkin sebagian orang beranggapan, “Ahh, tak usalah memperingati hari ibu sebab setiap hari adalah hari ibu.” Namun bagiku, hari ini–Hari Ibu–adalah momen yang paling istimewa. Sebab, ini adalah bentuk kecintaan kita–sebagai anak–terhadap ibu kita. Tak peduli bagaimana kita menujukan bentuk cinta kita–kita punya cara masing-masing–yang pasti dengan adanya Hari Ibu kita bisa kembali mengingat bagaimana perjuangan Ibu untuk kita–buah hatinya.

Kita tidak tahu bagaiman ibu mengandung dulu–mungkin kita sering rewel didalam kandungan, suka menendang-nendang perut kecilnya yang semakin hari semakin membesar. Dan bahkan ketika kita sudah lahir pun tak jarang kita sering rewel, entah itu kita menangis ketika malam menghantui atau ketika kita sakit–ibu selalu ada. Ia menjadi orang pertama yang bangun ketika kita mulai menangis ditengah malam. Ia menjadi orang yang paling khawatir ketika kita diserang penyakit. Ia menjadi orang pertama yang selalu ada ketika kita butuhkan.

Mamak..

Sebanyak apapun kata yang akan tergores disini tidak akan cukup untuk mendiskripsikan bagaimana perjuanganmu dulu hingga sekarang. Tangismu karena aku, tak akan aku lupakan–percayalah aku menyesal telah membuat air matamu membanjiri pipi yang mulai keriput itu. Segala bentuk perhatianmu selalu aku rindukan, bahkan marahmu aku rindukan. Walau terkadang aku terlihat seenaknya–yang berujung membuat emosi meletup-letup–percayalah aku tak sampai hati menyakitimu, aku tak bermaksud membuatmu marah.

Ohh mamak… Maafkan anakmu ini…

Dulu sekali aku selalu ingin jauh dari mu. Alasannya simple, tak mau lagi kena semprot alias kena marah. Setelah jauh darimu aku malah meridukan momen-momen itu. Momen dimana engkau marah sebab makanku tak teratur, marah sebab mandiku lama padahal sudah siang–berakibat terburu-buru ke sekolah, marah sebab jika dipanggil tak kunjung datang, marah sebab banyak hal.

Satu waktu aku dengan sengaja membuatmu marah, kemudian ditengah marahmu engkau bertanya, “Kok malah senyum dimarahi? Malah ketawa, kenapa?” Kujawab, “Aku rindu dimarahin. Disana ga ada yang ngingetin Ririn makan, disana ga ada yang bangunin Ririn, disana ga ada marah kalo Ririn kesiangan. Ririn rindu.” Seketika itu engkau terdiam dan memelukku. Ahhh.. mamak, terlampau sering membuatmu kecewa. Tak jarang lupa mengabari sebab mengkambing hitamkan kesibukanku. 

Maafkan..

Darimu juga aku belajar bagaimana menjadi sosok ibu yang sulit dilupakan oleh buah hatinya. Ya, pintar memasak! Buktinya aku selalu rindu oleh cita rasa masakanmu hehe.. ulang tahunku kemarin, aku bercita-cita: umur 20 tahun harus bisa memasak. Haha.. entah itu tercapai atau tidak, kita lihat besok–ku usahakan untuk cucumu mak. Hahaha 

Mamak…

Sekarang aku mengetahui bagaimana rindu itu. Sekarang aku menyadari bagaimana cinta itu. Sekarang aku menyadari betapa berharganya marahmu untuk kemajuanku. 

Mamak..

Selamat hari Ibu, mak! Semoga panjang umur, dilapangkan rezekinya, selalu diselimuti kesehatan. Ririn rindu, sangat rindu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pekan Lara

Begitulah jadinya. Pekan ini aku mempelajari banyak hal. Bahwa sesungguhnya kita harus merasakan kehilangan untuk tahu bagaimana rasanya memiliki. Harus merasakan sedih untuk tahu bahagia. Merasakan pahit untuk tahu manis. Untuk belajar lebih ikhlas mencintai apapun. Belajar bersyukur terhadap apa yang kita dapatkan sekarang.    Pertama. Jumat kemarin adalah hari yang menyakitkan bagiku. Bagaimana tidak, lelayu yang tersebar mengabarkan teman seperjuangan telah tiada. Begitu cepat, batinku. Maka ketika saat itu tiba tiada yang bisa menolak atau berpaling sedikitpun. Aku kembali diingatkan untuk selalu bersyukur terhadap nikmat yang telah diberikan olehNYA. Semoga engkau tenang disisiNYA. Kedua. Tiga teman seperjuangan harus pindah untuk merangkai cita-citanya di kota lain. aku bangga pada mereka, juga sedih karena harus berpisah. Ini adalah jalan yang diridhoiNYA, maka harus kita percayai. Asal tetap bisa berkomunikasi dan bertemu, tak masalah bagiku. Jalan berbeda, tapi tujua

Istirahat

Minggu ini mungkin adalah minggu yang menegangkan. Bagaimana tidak, setelah sebelumnya berkutat dengan materi-materi Ujian Tengah Semester (UTS) kini mahasiswa direpotkan dengan nilai Ujian Tengah Semester (UTS). Ada yang merasa puas dan ada juga yang merasa kurang. Entah kurang nilainya atau kurang dalam usahanya. Namun, sejauh ini aku pribadi menganggap bahwa Ujian Tengah Semester (UTS) adalah ajang melihat kemampuan diri. Kemampuan diri apakah kita tetap seperti dulu atau tidak, maksudnya adalah apakah kita tetap tidak jujur terhadap diri sendiri dan orang lain; melawan godaan. Apakah kita tetap menggunakan cara lama, dalam hal ini teknik menghafal materi atau memahami materi lalu kita kembangkan. Apakah kita sungguh-sungguh dalam mempersiapkan Ujian Tengah Semester (UTS). Dan kita bisa melihat mata kuliah apa yang harus kita beri perhatian lebih. Bisa saja dengan adanya Ujian Tengah Semester (UTS) atau ujian-ujian yang lain kita bisa mengetahui. “Oh, saya kurang dalam memaha

Ohh Desember

Tak ada yang berbeda dari bulan-bulan sebelumnya. Namun, setiap bulan pasti mempunyai cerita masing-masing yang meninggalkan kesan. Setelah November kemarin menumpahkan air dan hembusan angin yang begitu kencang, hingga meninggalkan sayatan kecil. Kini Desember memberikan sedikit mentarinya untuk merasakan begitu hangatnya ia. Sebab Desember selalu meninggalkan banyak harapan dan semoga. Sampai-sampai kadang aku terbuai dibuatnya, tapi terlepas dari semua itu. Aku ingin berterimakasih kepada Desember karena kau selalu kunanti dan kurindukan. Berkat Desember, aku selalu belajar bagaimana sepantasnya aku hidup dan telah melakukan apa untuk hidupku juga orang disekitarku. Hari ini, aku memilih sendiri dan menjauhkan diri dari dunia luar. Bukan karena aku tak mau membuka diri dan berkata, “Terimakasih doanya.” Tapi aku memilih untuk mengoreksi diri. Bertanya kepada diri sendiri, “Kau ini sebenarnya siapa? Apakah kamu dibutuhkan? Telah melakukan apa?” dan banyak pertanyaan yang muncul